Mahasiswa UNY Ditangkap Polisi Terkait Aksi di Polda DIY

Seorang mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta, Perdana Arie, ditangkap oleh polisi dengan tuduhan keterlibatan dalam demonstrasi yang berlangsung pada akhir Agustus 2025. Penangkapannya menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat dan lembaga advokasi yang menganggap tindakan ini sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Penangkapan ini terjadi pada hari Rabu, 24 September, ketika belasan anggota kepolisian mendatangi kediaman Perdana. Mereka membawa Perdana dengan alasan bahwa ia ditetapkan sebagai saksi terkait aksi protes yang berlangsung di depan Mapolda DIY.

Aliansi Jogja Memanggil, dalam siaran persnya, mengungkapkan bahwa pihak kepolisian tidak menunjukkan surat resmi mengenai status apapun saat menangkap Perdana. Mereka mengkritisi tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran prosedural yang berlaku dalam hukum.

Analisis Ketidakberesan Prosedural dalam Penangkapan

Tindakan polisi yang menangkap Perdana Arie tanpa surat penangkapan resmi mengundang perhatian banyak pihak, termasuk para ahli hukum. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar perlindungan hak asasi manusia yang harus dihormati oleh aparat penegak hukum.

Perdana lantas diubah statusnya dari saksi menjadi tersangka dalam waktu yang sangat singkat. Dalam proses ini, ia merasa tertekan untuk menyetujui pendamping hukum yang disediakan oleh pihak kepolisian, yang seharusnya merupakan haknya untuk memilih sendiri.

Aliansi Jogja Memanggil mengecam tindakan ini, dan menyatakan bahwa Perdana bukan hanya sekadar tersangka, melainkan juga seorang korban dari tindakan aparat keamanan. Mereka menyoroti bahwa Perdana mengalami kejang-kejang dan harus dilarikan ke rumah sakit setelah terlibat dalam aksi demonstrasi tersebut.

Respon dari Lembaga Advokasi dan Keluarga

Atqo Darmawan Aji, seorang anggota Barisan Advokasi Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan, mengungkapkan bahwa penunjukan pendamping hukum oleh Pola DIY dilakukan tanpa berkonsultasi dengan keluarga Perdana. Hal ini dinilai melanggar hak-hak hukum kliennya.

Atqo juga menegaskan bahwa saat penangkapannya, Perdana mengalami perlakuan di luar prosedur yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Walaupun tindakan tersebut tidak sampai menimbulkan luka fisik yang jelas, tapi tetap merupakan sebuah kekerasan yang harus dicontohkan kepada masyarakat.

Keluarga dan lembaga advokasi mengatakan kepada Perdana bahwa ia berhak untuk tidak memberikan keterangan tanpa didampingi oleh pengacara pilihannya. Namun, kenyataannya, ia dipaksa untuk menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanpa ada opsi untuk memilih pendamping hukum yang dianggapnya layak.

Situasi di Yogyakarta dan Kasus Demonstrasi Lainnya

Penangkapan Perdana Arie hanyalah salah satu dari banyak kasus serupa yang terjadi selama gelombang demonstrasi di Yogyakarta dan daerah lainnya. Sebanyak 959 orang telah ditetapkan sebagai tersangka terkait dengan protes yang berlangsung bersamaan di berbagai wilayah Indonesia, dengan banyak di antaranya adalah anak-anak.

Selama tiga hari aksi demonstrasi dari 29 hingga 31 Agustus, pihak kepolisian Yogyakarta tercatat telah menahan sekitar 66 orang dengan 24 di antaranya berusia di bawah umur. Pihak Aliansi juga mencatat bahwa beberapa orang mengalami luka berat yang mengharuskan mereka dirawat di rumah sakit, termasuk insiden kematian seorang mahasiswa di Universitas Amikom.

Aksi demonstrasi ini dikhawatirkan akan melahirkan tindakan represif dari aparat, yang seharusnya berfungsi untuk melindungi masyarakat. Sebaliknya, mereka justru mengancam kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia, yang merupakan hal mendasar dalam demokrasi.

Pernyataan Sikap dari Aliansi Jogja Memanggil

Dalam surat terbuka mereka, Aliansi Jogja Memanggil menyatakan sejumlah tuntutan kepada pihak kepolisian terkait penangkapan yang terjadi. Mereka mendesak polisi untuk segera menghentikan pekerjaannya yang dinilai sebagai pemburu aktivis yang terlibat dalam aksi unjuk rasa bulan lalu.

Aliansi juga menuntut pembebasan para aktivis dan warga sipil yang ditahan dengan alasan terlibat dalam demonstrasi pada bulan Agustus dan September. Mereka meminta lembaga lain, seperti Komnas HAM, untuk melakukan pengawasan dan mendampingi para tersangka yang saat ini ditahan.

Selain itu, mereka juga menginginkan agar Polda DIY memberikan akses yang lebih transparan dan memperbaiki layanan hukum bagi para tersangka yang masih ditahan. Para aktivis dan masyarakat sipil harusnya mendapatkan perlindungan, bukan penangkapan atas tindakan damai mereka.

Related posts